Jumat, 30 Maret 2018

MATA NAJWA (GADAI NYAWA DI NEGERI ORANG)

Najwa Shihab mengangkat tentang persoalan Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di negara lain.
Selama ini memang kerap terdengar pemberitaan beberapa TKI dieksploitasi, mendapatkan siksaan, pelecehan bahkan ada pula yang mendapat hukuman mati.
Hal ersebut tampaknya masih menjadi persoalan bangsa yang tak kunjung terselesaikan.

Dan lagi, buruh migran dihukum mati di Arab Saudi. Zaini Misrin, warga Bangkalan-Madura dihukum pancung dengan banyaknya kejanggalan dan proses hukum yang tengah diajukan Indonesia.

Zaini Misrin bukanlah satu-satunya mendapat hukuman pancung,  Masih ada deretan nama buruh migran yang terancam hukuman mati. Salah satunya Tuti. Dari sang ibunda
Iti Sarniti menceritakan dukanya bekerja sebagai TKI.

"Tahun 2010, Tuti dan saya berangkat ke Arab Saudi. Kontraknya 2 tahun. 3 bulan di sana masih bisa komunikasi. Setelah itu tidak ada lagi komunikasi. Saya tidak percaya Tuti bisa membunuh. Dia anaknya pendiam."

"Katanya, Tuti membunuh majikannya yang sudah tua di Arab Saudi," cerita Iti sambil menangis di hadapan Najwa Shihab.

Iti harus bolak balik ke Jakarta selama 2 tahun untuk mencari kejelasan atas kasus Tuti di Arab Saudi. "Tahun 2012, saya berangkat ke Arab Saudi dibiayai oleh pemerintah. Saya sudah bertemu dengan Tuti di penjara. Tuti menceritakan bahwa ia dirayu untuk melakukan hubungan seksual dengan majikan laki-lakinya yang sudah tua, dan Tuti mendorong majikannya karena membela diri," papar Iti sambil menahan tangis.

Hariyanto, Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia yang mendampingi Iti menambahkan, "Tuti mendapat pelecehan seksual dari 9 orang laki-laki di tengah pelariannya menuju Mekkah, kami menuntut keadilan hukum atas peristiwa yang menimpa Tuti ini."

Zaini Misrin, dihukum pancung di Arab Saudi. Keluarga kaget karena hukuman tersebut dilakukan tanpa pengumuman resmi pemerintah Arab Saudi. Kedua anak Zaini sudah hadir di panggung Mata Najwa, Saiful Toriq dan Mustofa Kurniawan.

Toriq menceritakan bagaimana Zaini memperoleh tindak kekerasan oleh para polisi di penjara, supaya mau mengaku melakukan pembunuhan majikannya. "Abah dipukul pakai kayu, dicambuk, dipaksa, disuruh mengaku. Abah tidak tahu sama sekali penyebab tewas majikannya. Abah di sana bekerja sebagai sopir."

Wahyu Susilo, Direktur Eksekutif Migrant Care mengatakan, pemerintah baru mengetahui kasus ini pada 2008. "Saat persidangan berlangsung, Zaini tidak didampingi oleh pengacara, translatornya pun dari kepolisian yang memaksa Zaini mengakui perbuatan membunuh majikannya," ungkap Wahyu.
Vonis hukuman mati sudah dijatuhkan di pengadilan, sehingga fakta-fakta baru terkait kasus ini tidak bisa menjadi bukti baru.

Kepada Najwa Shihab, Mustofa menunjukkan foto Zaini yang diambil dari handphone yang ia sembunyikan di kasur penjara. Bahkan saat berada di penjara, Zaini juga masih mengirimkan uang untuk membiayai kehidupan anak-anak di Indonesia. 

Kekhawatiran Saiful Toriq dan Mustofa kini tertumpu pada ibu mereka setelah ayahnya tewas dihukum pancung. Sang ibu, menurut kedua anaknya, mengaku dirayu majikannya. Padahal kontrak kerja di Arab Saudi baru dijalani dua bulan dari tiga tahun yang disetujui, sehingga sang ibu pun tidak bisa pulang.

Meski sudah melalui perjuangan panjang selama 14 tahun mencari keadilan itu hanya sebatas mimpi Abah.
Abah sempat bilang “Nak kita akan kumpul di Madura” ini yang membuat saya sedih dan terpukul ternyata mimpi itu kandas dan bahkan jenazah Abah pun tak bisa pulang ke Madura.

Saya berharap kepada pemerintah semoga apa yang terjadi kepada Abah saya tidak terjadi lagi buat TKI-TKI yang lain. Semoga yang menimpa saya tidak terjadi pada anak-anak Indonesia lain, " surat Mustofa Kurniawan, putra Zaini Misrin yang dihukum pancung di Arab Saudi bagi Presiden Jokowi.
"Saya minta ke Presiden, supaya saya bisa bertemu dengan keluarga majikannya Tuti. Saya mau sujud memohon maaf agar keluarga mereka memaafkan Tuti. Tolong bantu saya. Tuti anak pertama saya. Dia tidak banyak bicara, kalau saya tidak tanya dia tidak cerita. Saya minta anak saya dibebaskan saya mohon doanya dari semua," derai air mata Iti Sarniti-ibunda Tuti, buruh migran yang divonis hukuman mati.

Adelina Sau tewas di rumah sakit setelah disiksa majikannya di Malaysia. Ibunda Adelina, Yohana Banunaek dan Juru Bicara Keluarga Adelina, Amrosius Ku, hadir di Mata Najwa melalui perjalanan jauh dari NTT. Mereka bersedia berbagi cerita duka dengan harapan tak ada lagi warga NTT yang jadi korban seperti Adelina. Adelina bekerja ke Malaysia saat ia berusia 15 tahun. Ia diajak oleh calo bernama Martinus yang kini sudah diciduk polisi.

"Setelah 1 tahun pulang dengan selamat dari Malaysia, namun hanya membawa uang Rp 3 juta. Dia juga pulang tidak punya paspor,"Juru Bicara Keluarga Adelina, Amrosius Ku.
Ibunda Adelina sempat melarang saat Adelina akan berangkat lagi bekerja di Malaysia, "Karena Adelina baru pulang dari Malaysia.

"Saat Adelina pergi, calo yang menjemput Adelina memberikan Yohana uang Rp 200.000 dengan tujuan Yohana mengizinkan Adelina pergi. Namun Yohana tidak tahu ketika akhirnya Adelina berangkat lagi.
Adelina masih di bawah umur untuk bekerja di luar negeri. Hal ini menyisakan pertanyaan, benarkah Adelina jadi korban penjualan manusia? 

Kasus meninggalnya Adelina, buruh migran asal NTT, di tangan majikan di Malaysia menguak kembali dugaan bisnis perdagangan manusia.
Keluarga sempat tak percaya saat mendapat kabar Adelina meninggal dunia di Malaysia, "Nama marga di paspor Adelina berbeda dengan marga keluarga, hingga akhirnya polisi datang ke rumah dengan membawa foto Adelina."

Keluarga sampai sekarang tidak mengetahui kesalahan Adelina. Namun, keluarga sudah mengetahui kasus Adelina masih bergulir di Malaysia dan Indonesia.
Wahyu Susilo dari Migrant Care memaparkan human trafficking marak terjadi di NTT. "Kasus Adelina termasuk human trafficking, paspor Adelina dibuat di Blitar."

Menurut Wahyu, ada sindikat human trafficking di Medan, Blitar, Atambua yang perlu diungkap.
"Birokrasi yang terlibat. Ada Kepala Disnaker Kupang yang tertangkap memalsukan dokumen," papar Wahyu.
Tudingan Migrant Care langsung dijawab oleh Dirjen Pembinaan Penempatan dan Perluasan Kesempatan Kerja Kemenaker, Maruli A. Hasoloan,
"Tata kelola di dalam negeri, kita membangun kegiatan di desa sebagai upaya mencegah kasus human trafficking."
Harapan agar pemerintah membuka lapangan pekerjaan yang banyak dan baik serta tidak ada Adelina lainnya yang menjadi korban, disampaikan keluarga Adelina di panggung Mata Najwa.

Satinah, mantan buruh migran terbebas dari hukuman pancung di Arab Saudi. Uang diyat sebanyak Rp 21 miliar menyelamatkan nyawa Satinah. Fakta pun terkuak, Satinah kerap mendapat penyiksaan di penjara.

"Alhamdulillah saya sudah lebih baik, sekarang saya pakai tongkat tidak lagi pakai kursi roda,"
"Saya tidak ada kegiatan, tangan saya sakit, hanya bersih-bersih rumah, masak masakan kesukaan,"
Satinah sudah 3 kali berangkat ke Arab Saudi. 

"Majikan saya galak. Saya sering dipukul, saya pernah dipukul pakai penggaris besi. Saya emosi dan saya pukul majikan saya, dia terkapar tidak bernapas."

Satinah kabur dari rumah majikan, namun bertemu polisi di jalan. Ia pun tertangkap dengan membawa tas majikannya yang ternyata salah ia bawa saat keluar rumah.
Polisi membawa Satinah kembali ke rumah, dan meminta Satinah untuk memeragakan cara Satinah memukul si majikan.

Satinah lalu dipenjara. Saat itu, ia tidak bisa memberi kabar ke pihak keluarga. "Saya tidak bisa komunikasi dengan keluarga. Jadi ketika KBRI berkunjung ke penjara, saya meminta tolong untuk mengirimkan surat kepada keluarga." Satinah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar