Selama
ini memang kerap terdengar pemberitaan beberapa TKI dieksploitasi, mendapatkan
siksaan, pelecehan bahkan ada pula yang mendapat hukuman mati.
Hal
ersebut tampaknya masih menjadi persoalan bangsa yang tak kunjung
terselesaikan.
Dan lagi, buruh migran
dihukum mati di Arab Saudi. Zaini Misrin, warga Bangkalan-Madura dihukum
pancung dengan banyaknya kejanggalan dan proses hukum yang tengah diajukan
Indonesia.
Zaini Misrin bukanlah satu-satunya mendapat hukuman pancung, Masih ada deretan nama buruh migran yang terancam hukuman mati. Salah satunya Tuti. Dari sang ibunda
Iti Sarniti menceritakan dukanya bekerja sebagai TKI.
Zaini Misrin bukanlah satu-satunya mendapat hukuman pancung, Masih ada deretan nama buruh migran yang terancam hukuman mati. Salah satunya Tuti. Dari sang ibunda
Iti Sarniti menceritakan dukanya bekerja sebagai TKI.
"Tahun 2010, Tuti
dan saya berangkat ke Arab Saudi. Kontraknya 2 tahun. 3 bulan di sana masih
bisa komunikasi. Setelah itu tidak ada lagi komunikasi. Saya tidak percaya Tuti
bisa membunuh. Dia anaknya pendiam."
"Katanya, Tuti
membunuh majikannya yang sudah tua di Arab Saudi," cerita Iti sambil
menangis di hadapan Najwa Shihab.
Iti harus bolak balik
ke Jakarta selama 2 tahun untuk mencari kejelasan atas kasus Tuti di Arab
Saudi. "Tahun 2012, saya berangkat ke Arab Saudi dibiayai oleh pemerintah.
Saya sudah bertemu dengan Tuti di penjara. Tuti menceritakan bahwa ia dirayu
untuk melakukan hubungan seksual dengan majikan laki-lakinya yang sudah tua,
dan Tuti mendorong majikannya karena membela diri," papar Iti sambil
menahan tangis.
Hariyanto, Ketua
Serikat Buruh Migran Indonesia yang mendampingi Iti menambahkan, "Tuti
mendapat pelecehan seksual dari 9 orang laki-laki di tengah pelariannya menuju
Mekkah, kami menuntut keadilan hukum atas peristiwa yang menimpa Tuti
ini."
Zaini Misrin, dihukum
pancung di Arab Saudi. Keluarga kaget karena hukuman tersebut dilakukan tanpa
pengumuman resmi pemerintah Arab Saudi. Kedua anak Zaini sudah hadir di
panggung Mata Najwa, Saiful Toriq dan Mustofa Kurniawan.
Toriq menceritakan bagaimana
Zaini memperoleh tindak kekerasan oleh para polisi di penjara, supaya mau
mengaku melakukan pembunuhan majikannya. "Abah dipukul pakai kayu,
dicambuk, dipaksa, disuruh mengaku. Abah tidak tahu sama sekali penyebab tewas
majikannya. Abah di sana bekerja sebagai sopir."
Vonis hukuman mati
sudah dijatuhkan di pengadilan, sehingga fakta-fakta baru terkait kasus ini
tidak bisa menjadi bukti baru.
Kepada Najwa Shihab,
Mustofa menunjukkan foto Zaini yang diambil dari handphone yang ia sembunyikan
di kasur penjara. Bahkan saat berada di penjara, Zaini juga masih mengirimkan
uang untuk membiayai kehidupan anak-anak di Indonesia.
Kekhawatiran Saiful
Toriq dan Mustofa kini tertumpu pada ibu mereka setelah ayahnya tewas dihukum
pancung. Sang ibu, menurut kedua anaknya, mengaku dirayu majikannya. Padahal
kontrak kerja di Arab Saudi baru dijalani dua bulan dari tiga tahun yang
disetujui, sehingga sang ibu pun tidak bisa pulang.
Meski sudah melalui
perjuangan panjang selama 14 tahun mencari keadilan itu hanya sebatas mimpi
Abah.
Abah sempat bilang “Nak
kita akan kumpul di Madura” ini yang membuat saya sedih dan terpukul ternyata
mimpi itu kandas dan bahkan jenazah Abah pun tak bisa pulang ke Madura.
Saya berharap kepada
pemerintah semoga apa yang terjadi kepada Abah saya tidak terjadi lagi buat
TKI-TKI yang lain. Semoga yang menimpa saya tidak terjadi pada anak-anak
Indonesia lain, " surat Mustofa Kurniawan, putra Zaini Misrin yang dihukum
pancung di Arab Saudi bagi Presiden Jokowi.
"Saya minta ke
Presiden, supaya saya bisa bertemu dengan keluarga majikannya Tuti. Saya mau
sujud memohon maaf agar keluarga mereka memaafkan Tuti. Tolong bantu saya. Tuti
anak pertama saya. Dia tidak banyak bicara, kalau saya tidak tanya dia tidak
cerita. Saya minta anak saya dibebaskan saya mohon doanya dari
semua," derai air mata Iti Sarniti-ibunda Tuti, buruh migran yang
divonis hukuman mati.
Adelina Sau tewas di
rumah sakit setelah disiksa majikannya di Malaysia. Ibunda Adelina, Yohana
Banunaek dan Juru Bicara Keluarga Adelina, Amrosius Ku, hadir di Mata
Najwa melalui perjalanan jauh dari NTT. Mereka bersedia berbagi cerita duka
dengan harapan tak ada lagi warga NTT yang jadi korban seperti Adelina. Adelina
bekerja ke Malaysia saat ia berusia 15 tahun. Ia diajak oleh calo bernama
Martinus yang kini sudah diciduk polisi.
"Setelah 1 tahun
pulang dengan selamat dari Malaysia, namun hanya membawa uang Rp 3 juta. Dia
juga pulang tidak punya paspor,"Juru Bicara Keluarga Adelina, Amrosius Ku.
Ibunda Adelina sempat
melarang saat Adelina akan berangkat lagi bekerja di Malaysia, "Karena
Adelina baru pulang dari Malaysia.
"Saat Adelina
pergi, calo yang menjemput Adelina memberikan Yohana uang Rp 200.000 dengan
tujuan Yohana mengizinkan Adelina pergi. Namun Yohana tidak tahu ketika
akhirnya Adelina berangkat lagi.
Adelina masih di bawah
umur untuk bekerja di luar negeri. Hal ini menyisakan pertanyaan, benarkah
Adelina jadi korban penjualan manusia?
Kasus meninggalnya
Adelina, buruh migran asal NTT, di tangan majikan di Malaysia menguak kembali
dugaan bisnis perdagangan manusia.
Keluarga sempat tak
percaya saat mendapat kabar Adelina meninggal dunia di Malaysia, "Nama
marga di paspor Adelina berbeda dengan marga keluarga, hingga akhirnya polisi
datang ke rumah dengan membawa foto Adelina."
Keluarga sampai
sekarang tidak mengetahui kesalahan Adelina. Namun, keluarga sudah mengetahui
kasus Adelina masih bergulir di Malaysia dan Indonesia.
Wahyu Susilo dari
Migrant Care memaparkan human trafficking marak terjadi di NTT. "Kasus
Adelina termasuk human trafficking, paspor Adelina dibuat di Blitar."
Menurut Wahyu, ada
sindikat human trafficking di Medan, Blitar, Atambua yang perlu diungkap.
"Birokrasi yang
terlibat. Ada Kepala Disnaker Kupang yang tertangkap memalsukan dokumen,"
papar Wahyu.
Tudingan Migrant Care
langsung dijawab oleh Dirjen Pembinaan Penempatan dan Perluasan Kesempatan
Kerja Kemenaker, Maruli A. Hasoloan,
"Tata kelola di
dalam negeri, kita membangun kegiatan di desa sebagai upaya mencegah kasus
human trafficking."
Harapan agar pemerintah
membuka lapangan pekerjaan yang banyak dan baik serta tidak ada Adelina lainnya
yang menjadi korban, disampaikan keluarga Adelina di panggung Mata Najwa.
Satinah, mantan buruh
migran terbebas dari hukuman pancung di Arab Saudi. Uang diyat sebanyak Rp 21
miliar menyelamatkan nyawa Satinah. Fakta pun terkuak, Satinah kerap mendapat
penyiksaan di penjara.
"Alhamdulillah
saya sudah lebih baik, sekarang saya pakai tongkat tidak lagi pakai kursi roda,"
"Saya tidak ada
kegiatan, tangan saya sakit, hanya bersih-bersih rumah, masak masakan
kesukaan,"
Satinah sudah 3 kali
berangkat ke Arab Saudi.
"Majikan saya
galak. Saya sering dipukul, saya pernah dipukul pakai penggaris besi. Saya
emosi dan saya pukul majikan saya, dia terkapar tidak bernapas."
Satinah kabur dari
rumah majikan, namun bertemu polisi di jalan. Ia pun tertangkap dengan membawa
tas majikannya yang ternyata salah ia bawa saat keluar rumah.
Polisi membawa Satinah
kembali ke rumah, dan meminta Satinah untuk memeragakan cara Satinah memukul si
majikan.
Satinah lalu dipenjara.
Saat itu, ia tidak bisa memberi kabar ke pihak keluarga. "Saya tidak
bisa komunikasi dengan keluarga. Jadi ketika KBRI berkunjung ke penjara, saya
meminta tolong untuk mengirimkan surat kepada keluarga." Satinah.