Jumat, 04 Mei 2018

MATA NAJWA (BARA JELANG 2019)


Memasuki tahun politik, beragam taktik mulai diterapkan untuk mendapat simpati masyarakat dan menggalang dukungan bagi masing-masing kandidat pemimpin yang diandalkan. Beragam opini dijejalkan ke masyarakat bahkan tak jarang memicu gesekan antar lapisan.

Insiden kaos berlogo #2019Gantipresiden VS #DiaSibukKerja di acara Car Free Day (CFD) pada 29 April 2018 menyita perhatian publik. Peristiwa ini mengusik akal sehat.

Susi Ferawati korban intimidasi CFD menceritakan, awalnya dia ketinggalan barisan dari pembagian kaos berlogo #DiaSibukKerja. Ia tak menyangka kejadian tersebut begitu cepat.

“Kita ketinggalan barisan. Saat itu belum ada kerumunan. Ada pergerakan dari Sudirman ke Bundaran HI. Dan foto-foto, ada ibu-ibu mulai datang. Dan mereka colek saya, mereka bilang, ‘kaosnya dikasih,” kata Fera.

Fera melanjutkan, makian makin keras karena orang-orang makin berkumpul.

“Dasar babu, kerja mlulu,” katanya. Makian tersebut ditujukan kepada Fera yang menggunakan kaos berlogo #DiaSibukKerja.
“Saya digiring dari kalangan mereka juga. Terus ke jalan Thamrin. Di situ saya dijemput suami teman saya,” katanya.

Korban intimidasi CFD lainnya, Siti Tarumaselej juga bercerita sempat diolok-olok kelompok yang beda kubu aspirasi politik. “Saya juga diolok-olok. Dikepret-kepret uang di muka saya,” katanya.
Sampai akhirnya ia bisa lolos dari situasi tegang tersebut.


Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah angkat bicara soal insiden CFD. Menurutnya, masyarakat demokrasi adalah yang aktif dan dinamis dengan perbedaannya. Sehingga apa yang terjadi di CFD merupakan sesuatu yang apa adanya. “Jangan sampai kalau ada masalah dia meledak,” katanya.

Dia melanjutkan insiden CFD sudah keliru. Sebab tak bisa membiarkan dua kelompok yang berbeda aspirasi politik dalam satu lokasi. “Kalau salah pakai baju sepak bola saja bisa babak belur,” katanya.

Guru Besar UII, Mahfud MD, Mahfud MD menilai tindakan tersebut tidak bermoral. Perlu ada penegakan hukum.

Sementara, Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya menilai ini merupakan kesalahan dari Pemerintah DKI Jakarta. Sebab dalam aturannya, CFD harus bebas dari aktivitas politik. “Tidak ada kehadiran negara, di sini yang bertanggung jawab ya pemprov,” katanya. 

"Apalagi ada kehadiran anggota DPRD DKI Jakarta di lokasi CFD saat itu," tegas Yunarto.


Apakah kelompok berkaos #2019Gantipresiden merupakan kubu dari Prabowo Subianto?
Politikus Gerindra, Riza Patria membantah. Dia mengklaim relawan Prabowo taat terhadap aturan. “Relawan kami tertib, bersih, disiplin."

Belakangan ramai perang tagar bermuatan pesan dukungan di Pilpres 2019. Perang tagar ini memanas tak hanya di jagad maya, tapi juga tercermin dalam realita lewat distribusi atribut berupa kaos dengan tagar masing-masing.

Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah mengatakan, saat ini keberadaan perang tagar di media sosial tak bisa dihindari. Kalau pun ada pernyataan provokatif bisa saja dikeluarkan. Fahri melanjutkan, pedoman bermedia sosial adalah aturan perundang-undangan. Jadi semua telah diatur dalam hukum.

Guru Besar UII, Mahfud MD menilai tagar di media sosial sangat cepat bersahutan. Dari satu pesan ke pesan yang lain. Termasuk pesan-pesan provokatif. Hal ini yang bisa membahayakan. "Jika pesan tersebut sudah menuai persoalan apapun alasannya aparat penegak hukum harus tegas,"kata Mahfud.

Bagi Direktur Eksekutif Charta Politica, Yunarto Wijaya keberisikan di dunia media sosial masih wajar asal masih dalam satu framing. Misalnya, melakukan kampanye negatif dengan membuka data keburukan dari lawan politik. “Tagar-tagar cuci otak orang tapi harus bertanggung jawab,” katanya.

Politikus Gerindra, Riza Patria mempersoalkan insiden dua orang meninggal saat pembagian sembako di Monas. Menurutnya, hal ini harus dibuka.

“Harus ada kejujuran dan keadilan,” katanya. Apalagi ada tudingan kegiatan bagi sembako ini dilakukan kelompok pro Jokowi. 

Menurut Politikus PDI Perjuangan, Maruarar Sirait tidak ada kesengajaan untuk menutupi peristiwa tersebut. “Memang nggak ada pemerintahan yang sempurna. Tidak setuju demokrasi dimenangkan dengan cara yang tidak adil dengan menggunakan TNI, polisi. Kalau penguasa salah ditutup. Oposisi salah diekspos, tindak saja, kan ada aturannya,"ujarnya.


Jelang 2019, hoaks dan kampanye hitam diperkirakan akan makin kuat. Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah menjawab enteng persoalan tersebut. “Itu wilayah penegakan hukum,” katanya.

Ia juga mengkritik Presiden Jokowi yang menganggap politik jahat. Sebab, dalam medan kampanye khususnya media sosial, presiden harus hadir dalam perdebatan politik.

Politikus PDI Perjuangan, Maruar Sirait mengatakan bagi mereka yang menghalalkan cara dalam politik dengan kampanye hitam, harus diproses secara hukum. Tapi ia mengingatkan, tiap beda pilihan politik seharusnya jangan menghalalkan segala cara untuk menang. “Pasti kita punya calon beda, punya partai beda. Bagi saya politik itu usaha untuk memperjuangkan apa yang kita yakini benar,” katanya.

Politikus Gerindra, Riza Patria mengaku Prabowo Subianto juga kerap diserang dalam media sosial. Serangan tersebut mulai dari mendompleng kampanye buruh pada 1 Mei lalu, kemudian insiden CFD yang seolah-olah dilakukan oposisi. “Apa pun yang negatif itu (diasosiasikan-red) oposisi,” katanya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar