Aksi main
hakim sendiri menjadi ironi di tengah status Indonesia sebagai negara hukum.
Bahkan kasus main hakim sendiri tak hanya sekali dua kali terjadi di negeri
ini. Kerap para korban amuk massa diadili ramai-ramai tanpa dikonfirmasi atau
kesempatan membela diri. Sepanjang tahun 2014-2015 tercatat ada 4.660 kasus
main hakim sendiri, dengan rata-rata 6 kematian per minggu.
Hukum harus
ditegakkan, pelaku atau aktor intelektual harus diadili jika ingin memutus mata
rantai aksi main hakim sendiri.
“Ini adalah
tindakan kriminalitas, ini bukan fenomena sosial, karena kalau disebut fenomena
sosial, ini akan menjadi alasan bagi banyak pihak untuk mengatakan bahwa saya
bebas dari perilaku ini, karena saya juga adalah korban dari ketidakadilan, dan
sebagainya.” Pengamat sosial, Devie Rahmawati.
~*~
Peristiwa
amuk massa di Cikupa, Tangerang pada 11 November 2017, menjadi sebuah peristiwa
pahit yang sulit dihapus dari ingatan M dan R.
R
mengisahkan, sebelum peristiwa Cikupa terjadi, hubungannya dengan M telah terjalin
sekitar 1,5 tahun, “saat ini kami sudah menikah, kami pacaran 1,5 tahun dan
memang sudah merencanakan pernikahan.” Tutur R.
Saat
peristiwa amuk massa di Cikupa, M mengaku baru tinggal di daerah tersebut
selama 2 minggu. “Karena baru 2 minggu, belum kenal siapa-siapa dan belum
sempat sosialisasi.
Sementara R
mengaku, cukup jarang singgah ke kontrakan M. Pada Sabtu malam (11/11/2017), R
datang untuk mengantarkan makanan ke kontrakan M, “Saya waktu itu membawa nasi
dan telur dadar, masak sendiri dari rumah. Dan pada saat itu ada orang datang
mengetuk pintu.”
Hingga pada
sabtu malam M dan R digerebek warga, mereka dituduh berbuat asusila bahkan
mereka dipaksa telanjang hingga video peristiwa ini viral di media sosial.
Akibat peristiwa
tersebut, kondisi psikologis mereka terpukul dan harus menjalani konseling
hingga saat ini. “Saya belum kembali bekerja.” ungkap R, “masih ingin tenang di
rumah, belum ada aktivitas yang kami lakukan. Masih didampingi terus oleh pihak
kepolisian.” M korban amuk massa.
Polisi menetapkan
6 orang tersangka, yang saat ini telah diadili dan menanti vonis pada 12 April
2018. Ironisnya, diantara 6 tersangka ini adalah ketua RT dan ketua RW
setempat, yang diduga sebagai aktor intelektual dibalik peristiwa amuk massa.
Kapolresta
Tangerang AKBP HM Sabilul Alif, menjelaskan kronologi kejadian berdasarkan
hasil penyidikan, bahwa ketua RT menggedor pintu kontrakan M, menuding M dan R
telah melakukan perbuatan asusila, dan melakukan aksi main hakim sendiri.
“Motif
ketua RT itu karena mau ada sanksi sosial, karena dia merasa seorang tokoh yang
punya wewenang untuk memberikan sanksi.” ungkap AKBP HM Sabilul Alif.
Mengalami
perlakukan kasar dan tudingan yang mempermalukan, keluarga korban M dan R
menyerahkan ganjaran atas para pelaku pada hukum yang berlaku.
“Saya
serahkan ke polisi dan pengadilan untuk hukum, saya mau yang setimpal saja,
Kalau bisa cukup ini saja kejadian persekusi ini di Indonesia, ke depan jangan
ada lagi. Negara kita kan negara hukum, semua ada aturannya.” ungkap N ayah
korban R.
~*~
1 Agustus
2017 menjadi hari yang tragis bagi Muhammad Al Zahra atau yang akrab disapa
Zoya. Dituduh mencuri amplifier atau pengeras suara di sebuah mushala, di
kawasan Babelan, Bekasi, Jawa Barat, Zoya tewas dihakimi massa.
Siti
Zubaidah, istri Zoya mengaku tak menyangka suaminya melakukan tindak pidana. Di
mata Zubaidah, Zoya dikenal sebagai sosok suami yang bertanggung jawab dan
pekerja keras. Kematian Zoya menjadi pukulan berat bagi keluarganya.
Zubaidah
dan buah hati yang kini kehilangan tulang punggung keluarga hanya bisa
bertanya, kenapa massa tega menghabisi nyawa suaminya?
Ditinggal
sang suami yang tewas dihakimi massa, meninggalkan kesedihan mendalam bagi
Zubaidah. Ia kini harus berjuang sendiri membesarkan seorang anaknya. “Saya
sulit menjelaskan kepergian suami kepada anak saya, biasanya suami saya sering
salat bareng bersama anak saya, itu yang sering ditanyakan anak saya.”
Namun
Zubaidah tak mau larut dalam kesedihan. Hidup terus berjalan, dan motivasi
untuk membesarkan buah hatinya menguatkan Zubaidah menghadapi cobaan. Zubaidah
hanya berharap, aksi main hakim sendiri di negeri ini tak lagi terulang.
“Saya
berharap agar tidak ada kasus main hakim sendiri lagi sampai menghilangkan
nyawa seseorang. Cukup keluarga saya saja.”
~*~
Harga
sebuah rokok elektrik atau vape harus dibayar dengan nyawa.
Abi Qowi
Suparto, pemuda 22 tahun, tewas akibat pendarahan otak setelah dianiaya
beramai-ramai, karena dituduh mencuri vape.
Rosani Nina
Sari, Ibunda Abi terpukul mengetahui kenyataan anaknya tewas dianiaya. “Saat
ini saya belum bisa pulang ke rumah, aku masih belum kuat, aku masih mengingat
aku punya anak satu yang masih belum tuntas, yang harusnya masih harus aku
urus.”
Keluarga
tidak tahu tentang kasus pencurian yang dituduhkan pada anaknya, kabar pertama
diterima saat Abi telah dalam kondisi kritis.
“Pertama
aku tidak tahu anakku diduga mencuri vape, malam tanggal 28 ayahnya mendapat
telepon memberitahukan Abi dalam kondisi kritis.”
Mengetahui
fakta bahwa Abi tewas dianiaya, keluarga menuntut keadilan dengan menempuh
jalur hukum.
“Sebenarnya
saya sudah mengikhlaskan, tapi 2 hari setelah acara tahlilan, datang temennya
Abi menunjukan video penganiayaan Abi, keponakanku telepon ke abangnya, bilang
ini tidak bisa dibiarkan, harus dilaporkan ke polisi, nanti banyak peristiwa
seperti Abi lagi.” Kata Rosani, Ibu Abi, korban aksi main hakim sendiri.
Saat ini 5
pelaku penganiayaan atas Abi telah diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,
sementara 1 orang terduga pelaku lainnya masih buron.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar