Jumat, 13 April 2018

MATA NAJWA (AMUK MASSA)


Aksi main hakim sendiri menjadi ironi di tengah status Indonesia sebagai negara hukum. Bahkan kasus main hakim sendiri tak hanya sekali dua kali terjadi di negeri ini. Kerap para korban amuk massa diadili ramai-ramai tanpa dikonfirmasi atau kesempatan membela diri. Sepanjang tahun 2014-2015 tercatat ada 4.660 kasus main hakim sendiri, dengan rata-rata 6 kematian per minggu.

Hukum harus ditegakkan, pelaku atau aktor intelektual harus diadili jika ingin memutus mata rantai aksi main hakim sendiri.

“Ini adalah tindakan kriminalitas, ini bukan fenomena sosial, karena kalau disebut fenomena sosial, ini akan menjadi alasan bagi banyak pihak untuk mengatakan bahwa saya bebas dari perilaku ini, karena saya juga adalah korban dari ketidakadilan, dan sebagainya.” Pengamat sosial, Devie Rahmawati.

~*~
Peristiwa amuk massa di Cikupa, Tangerang pada 11 November 2017, menjadi sebuah peristiwa pahit yang sulit dihapus dari ingatan M dan R.

R mengisahkan, sebelum peristiwa Cikupa terjadi, hubungannya dengan M telah terjalin sekitar 1,5 tahun, “saat ini kami sudah menikah, kami pacaran 1,5 tahun dan memang sudah merencanakan pernikahan.” Tutur R.

Saat peristiwa amuk massa di Cikupa, M mengaku baru tinggal di daerah tersebut selama 2 minggu. “Karena baru 2 minggu, belum kenal siapa-siapa dan belum sempat sosialisasi.

Sementara R mengaku, cukup jarang singgah ke kontrakan M. Pada Sabtu malam (11/11/2017), R datang untuk mengantarkan makanan ke kontrakan M, “Saya waktu itu membawa nasi dan telur dadar, masak sendiri dari rumah. Dan pada saat itu ada orang datang mengetuk pintu.”

Hingga pada sabtu malam M dan R digerebek warga, mereka dituduh berbuat asusila bahkan mereka dipaksa telanjang hingga video peristiwa ini viral di media sosial.

Akibat peristiwa tersebut, kondisi psikologis mereka terpukul dan harus menjalani konseling hingga saat ini. “Saya belum kembali bekerja.” ungkap R, “masih ingin tenang di rumah, belum ada aktivitas yang kami lakukan. Masih didampingi terus oleh pihak kepolisian.” M korban amuk massa.

Polisi menetapkan 6 orang tersangka, yang saat ini telah diadili dan menanti vonis pada 12 April 2018. Ironisnya, diantara 6 tersangka ini adalah ketua RT dan ketua RW setempat, yang diduga sebagai aktor intelektual dibalik peristiwa amuk massa.

Kapolresta Tangerang AKBP HM Sabilul Alif, menjelaskan kronologi kejadian berdasarkan hasil penyidikan, bahwa ketua RT menggedor pintu kontrakan M, menuding M dan R telah melakukan perbuatan asusila, dan melakukan aksi main hakim sendiri.

“Motif ketua RT itu karena mau ada sanksi sosial, karena dia merasa seorang tokoh yang punya wewenang untuk memberikan sanksi.” ungkap AKBP HM Sabilul Alif.

Mengalami perlakukan kasar dan tudingan yang mempermalukan, keluarga korban M dan R menyerahkan ganjaran atas para pelaku pada hukum yang berlaku.

“Saya serahkan ke polisi dan pengadilan untuk hukum, saya mau yang setimpal saja, Kalau bisa cukup ini saja kejadian persekusi ini di Indonesia, ke depan jangan ada lagi. Negara kita kan negara hukum, semua ada aturannya.” ungkap N ayah korban R.
~*~
1 Agustus 2017 menjadi hari yang tragis bagi Muhammad Al Zahra atau yang akrab disapa Zoya. Dituduh mencuri amplifier atau pengeras suara di sebuah mushala, di kawasan Babelan, Bekasi, Jawa Barat, Zoya tewas dihakimi massa.

Siti Zubaidah, istri Zoya mengaku tak menyangka suaminya melakukan tindak pidana. Di mata Zubaidah, Zoya dikenal sebagai sosok suami yang bertanggung jawab dan pekerja keras. Kematian Zoya menjadi pukulan berat bagi keluarganya.

Zubaidah dan buah hati yang kini kehilangan tulang punggung keluarga hanya bisa bertanya, kenapa massa tega menghabisi nyawa suaminya?
Ditinggal sang suami yang tewas dihakimi massa, meninggalkan kesedihan mendalam bagi Zubaidah. Ia kini harus berjuang sendiri membesarkan seorang anaknya. “Saya sulit menjelaskan kepergian suami kepada anak saya, biasanya suami saya sering salat bareng bersama anak saya, itu yang sering ditanyakan anak saya.”

Namun Zubaidah tak mau larut dalam kesedihan. Hidup terus berjalan, dan motivasi untuk membesarkan buah hatinya menguatkan Zubaidah menghadapi cobaan. Zubaidah hanya berharap, aksi main hakim sendiri di negeri ini tak lagi terulang.

“Saya berharap agar tidak ada kasus main hakim sendiri lagi sampai menghilangkan nyawa seseorang. Cukup keluarga saya saja.”

~*~
Harga sebuah rokok elektrik atau vape harus dibayar dengan nyawa.
Abi Qowi Suparto, pemuda 22 tahun, tewas akibat pendarahan otak setelah dianiaya beramai-ramai, karena dituduh mencuri vape.

Rosani Nina Sari, Ibunda Abi terpukul mengetahui kenyataan anaknya tewas dianiaya. “Saat ini saya belum bisa pulang ke rumah, aku masih belum kuat, aku masih mengingat aku punya anak satu yang masih belum tuntas, yang harusnya masih harus aku urus.”

Keluarga tidak tahu tentang kasus pencurian yang dituduhkan pada anaknya, kabar pertama diterima saat Abi telah dalam kondisi kritis.
“Pertama aku tidak tahu anakku diduga mencuri vape, malam tanggal 28 ayahnya mendapat telepon memberitahukan Abi dalam kondisi kritis.”
Mengetahui fakta bahwa Abi tewas dianiaya, keluarga menuntut keadilan dengan menempuh jalur hukum.

“Sebenarnya saya sudah mengikhlaskan, tapi 2 hari setelah acara tahlilan, datang temennya Abi menunjukan video penganiayaan Abi, keponakanku telepon ke abangnya, bilang ini tidak bisa dibiarkan, harus dilaporkan ke polisi, nanti banyak peristiwa seperti Abi lagi.” Kata Rosani, Ibu Abi, korban aksi main hakim sendiri.

Saat ini 5 pelaku penganiayaan atas Abi telah diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sementara 1 orang terduga pelaku lainnya masih buron.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar